25 Desember 2009

Mencoba Memahami Secuil Kecil Kualitas Buddha Gotama

-Memetik sebagian kecil dari buku yang menceritakan secuil kecil tentang sifat dan kualitas seorang Buddha Gotama, pendiri Agama Buddha 2500 tahun silam-

"Elok nian tarian ketika sebuah sitar disetel;
Disetel tidak tinggi tidak rendah,
Dan kami akan menari menghibur hati manusia.

Senar yang disetel terlalu tegang putus,
dan musik pun melayang;
Senar yang terlalu longgar sia-sia, dan musik pun mati;
Setelah sitar bagi kami tidak tinggi tidak rendah."

Maka menyanyilah para penari mengikuti tiupan pipa bansuli dan petikan senar-senar tersebut. Buddha mengangkat kening yang memancarkan keagungan itu manakala orang-orang tidak bermoral itu berlalu, dan bersabda:
"Mereka yang bodoh terkadang mengajarkan sesuatu kepada mereka yang bijaksana; aku menarik dawai kehidupan ini begitu ekstrem, barangkali, karena bermaksud membuat musik yang seperti tadi. Kedua mataku mengabur untuk melihat kebenaran, kekuatan tubuhku berkurang dratis sehingga kebutuhan adalah utama; apakah aku masih tertolong seperti seseorang yang membutuhkan pertolongan sesamanya, karena kematian akan merenggut hidupku, kehidupan seseorang yang menjadi harapan semua manusia." (menceritakan seorang Buddha tidak keras kepala).

Setelah Sujata memberi makanan yang berkhasiat sehingga Siddharta Gotama memperoleh kekuatannya kembali dan kehidupan kembali seolah-olah malam-malam penantian dan hari-hari puasa telah berlalu sekadar mimpi. (menceritakan bahwa menyiksa diri, berpuasa, tidak akan memberi solusi dalam mencapai penerangan).

roda dharma buddhisme

Malam pun tiba, manakala Siddharta Gotama bersemedi merenung di bawah Pohon tersebut. Akan tetapi dia sang Pangeran Kegelapan, Mara--demi mengetahui betapa sang Buddha yang akan membebaskan manusia, dan sekarang adalah waktunya ketika ia akan menemukan Kebenaran dan menyelamatkan dunia-dunia--memberi perintah kepada semua balatentara kejahatan. Maka lihatlah dari segenap lubang kelam paling dalam balatentara kejahatan, setan-setan yang selalu memerangi Kebijaksanaan dan Cahaya, Arati, Trishna, Raga dan para pembantu-pembantu mereka, hawa nafsu, ketakutan, ketidakacuhan, hasrat badani, anak-anak kekelaman dan teror;

Semua pembenci Buddha, yang berupaya sekuat tenaga menggoncangkan pikirannya; tanpa menyadari, tanpa mengetahui sedang berhadapan dengan dia yang terbijaksana, setan-setan laknat dari neraka ini bertempur sepanjang malam supaya Kebenaran luruh dari hadapan Sang Buddha: terkadang dengan hujan teror yang paling keji, gemuruh balatentara kegelapan yang mengendarai angin bak awan-awan berarak dengan guntur dan luapan cahaya membutakan mata dalam tombak cahaya yang kasar mengerikan, jingga, dari langit yang tersobek;

terkadang dengan tip daya dan kata-kata yang terdengar manis di telinga, diantara desah dedaunan dan kelembutan aliran udara memunculkan bentuk-bentuk rupawan memabukkan pikiran; lagu-lagu yang mendayu-dayu, bisikan-bisikan percintaan mesra; terkadang dengan teror keraguan dasyat, yang membuat kebenaran sia-sia.

Lalu sepuluh Dosa utama datang--para pembantu utama Mara, para malaikat kejahatan--mula-mula Attavata, dosa diri, yang di Alam Semesta sebagaimana di dalam cermin melihat wajahnya yang terlihat itu, dan berseru "Aku", akan membuat dunia berkata "Aku", dan segenap hal lenyap jikalau ia menang.

"Andaikan engkau memang sang Buddha," katanya, "biarkan yang lain mencari-cari tanpa cahaya; cukuplah bila Engkau adalah Engkau yang tak berubah; bangkit dan renggutlah puncak ekstase para dewa yang tiada berubah, tiada berperasaan dan tiada berjuang sedikitpun."
Tetapi Buddha bersabda,"Yang benar bagimu adalah kejahatan, yang salah adalah sebuah kutukan; pergilah menipu mereka yang hanya mencintai diri sendiri."

Lalu melintaslah Keraguan, dia yang menyangkal--Dosa cemooh--dan ia mendesis di telinga sang Buddha, "Semua hal adalah sekadar tipuan mata, dan sungguh kenaifan pengetahuan akan tipu daya mereka; engkau hanya mengejar bayangan dirimu semata; bangun dan pergilah segera, tidak ada jalan yang lebih baik daripada menanggung cemooh, tidak ada pertolongan untuk manusia, tidak layak pula niat menetap dalam pusaran roda yang berputar ini."
Tetapi jawab sang Buddha, "Engkau tidak ada sangkut-pautnya denga aku, Visikitcha si raja palsu! Musuh-musuh manusia yang paling samar!"

Setelah it datanglah dia yang kekuatannya adalah memberi kepercayaan-kepercayaan menyesatkan silabbata-para-masa, wanita penyihir, yang menyamar di banyak negeri sebagai Iman yang rendah hati, tetapi selalu memanipulasi jiwa-jiwa dengan ritus dan doa-doa; para penjaga kunci Neraka-Neraka dan pembuka gerbang Surga-Surga. "Apakah engkau berani" tanya dia, "menyingkirkan kitab-kitab suci kami, menggulingkan segala tahta para dewa kami, mengosongkan semua kuil kami, mengguncang hukum yang memberi makan kepada para pendeta dan menopang kerajaan-kerajaan?"
Tetapi jawab sang Buddha, "Apa yang engkau minta aku jaga adalah bentuk yang akan lenyap berlalu, tetapi Kebenaran sejati tetap berdiri; kembalilah ke kegelapan yang menjadi rumahmu."

Kemudian adalah giliran seorang Penggoda yang berani, Kama, Kaisar segala hawa nafsu, yang berjalan dengan gagah, yang telah banyak menyimpangkan kedewaan para dewa, Tuan atas segala cinta, penguasa kerajaan kenikmatan. Sambil tertawa dia datang ke pohon itu sembari memegang busur emasnya yang dibungkus dengan kembang-kembang warna merah, dan anak-anak panah keinginan yang di ujungnya terpasang api halus lima lidah, yang menyengat hati yang ia gigit:

dan di sekeliling dia hadirlah ketempat yang terpencil itu sekelompok bentuk mempesona dengan mata dan bibir bak malaikat surga sambil menyanyikan kata-kata indah memuja Cinta, mengikuti alunan musik nada-nada manis, begitu magis penuh pesona sihir. Belum ada pertunjukan yang begitu indah, yang kian lama kian mendekati Pohon Bodhi, sambil berbisik "Oh Siddharta yang Agung! Aku adalah milikmu, rabalah mulut ini dengan sepasang mulutmu dan rasakan betapa manis kemudaan!"


Tidak ada yang dapat menggoyahkan pikiran sang Buddha, Astaga! Kama mengibaskan busur ajaibnya dan sebuah bentuk, tak terperikan cantik dan anggun maju perlahan mengenakan wajah dan tubuh Yasodhara. Lembut sepasang pelupuk mata penuh harap itu bergenang air mata; sambil mengulurkan kedua tangan membuka hendak memeluk sang kekasih kalbu, memanggil-manggil nama Siddharta, seraya menarik nafas panjang, merayu-rayu sang Buddha agar kembali padanya dalam kebahagiaan dan kenikmatan.

Tetapi kata Buddha, "Demi kemanisan dia yang engkau coba perankan, bayangan palsu memabokkan! Engkau melakukan hal yang sia-sia; aku mengutuk engkau bukan sebagai yang mengenakan sebuah bentuk yang begitu indah, namun engkau sebagai bayangan-bayangan keduniawian. Melelehlah kembali ke kekosongan aslimu!"

Dibawah langt yang mulai menggelap dan suara guruh dari kejauhan, datanglah Dosa-Dosa yang lebih keji, yang paling kejam di antara kesepuluh Dosa; Patigha--Kebencian--ular-ular yang melingkar menjijikkan di seputar pinggangnya, mengisap susu beracun dari sepasang puting yang berjuntai-juntai di dadanya, dan dengan kutukan-kutukannya, ia mencampur desisan marah ular-ular piaraannya itu. Lalu mengikuti di belakangnya adalah Ruparaga--Nafsu hari-hari-- dosa seksual, keserakahan akan kehidupan;

dan disampingnya adalah Nafsu Kemasyuran, Aruparaga yang lebih mulia, dia yang dengan mantranya menyesatkan mereka yang bajik, ibu perbuatan-perbuatan heroik, pertempuran dan kerja keras. Dan Mano si tinggi hati juga tiba, penguasa Rasa Bangga; dan Kebenaran Diri yang lemah-lembut, Uddhachcha;

dan--dengan ditemani banyak pengikut, wujud-wujud tanpa bentuk dan menjijikan yang melata-lata dan melompat-lompat seperti katak dan kelelawar - Ketidakacuhan, Ibu Ketakutan dan Kesalahan, Avidya, seorang wanita tua buruk rupa dan jahat, yang jejak-jejak kakinya membuat tengah malam kian hitam, sementara gunung-gunung yang tertanam kuat dan bumi terguncang, angin-angin yang meniup liar melolong, awan-awan yang tercabik-cabik beku kehilangan aliran hjan yang bercahaya halus; para Penguasa Neraka dari seribu Tempat Penantian memimpin bala tentara mereka untuk menggoda iman sang Buddha.

Tetapi sang Buddha tak sedikitpun bergerak, duduk berwibawa dengan keutamaan sempurna yang mendinding menjadi segenap gerbang dan tangga sebuah benteng pertahanan; begitu juga Pohon Suci - Pohon Bodhi - yang tidak tergugah di tengah lautan gemuruh suara, malahan setiap daun mengeluarkan sinar gemerlapan seakan di musim purnama tiada hembusan angin sepoi-sepoi yang membawa butir-butir embun; karena semua hiruk-pikuk ini tertahan lingkaran teduh dedaunan yang dibentuk dahan-dahan yang saling merajut:

Di malam ketiga,-- bumi memendam semua suara, para balatentara neraka sudah melarikan diri,-- Siddharta Gotama mencapai Samma-sambuddha.

"Banyak rumah kehidupan
telah menahan aku - mencari dia yang menciptakan
segenap penjara indra-indra ini, yang penuh sesak
dengan kesengsaraan;
getir tak terkira perjuangan tak kenal kata mundur ini!

Tetapi sekarang,
wahai engkau pembangun tabernakel ini - ya engkau!
aku mengenal engkau! Jangan pernah kau bangun lagi dinding-dinding penderitaan ini,
jangan bangkitkan lagi pohon dusta yang lebat itu,
jangan letakkan penyangga-penyangga atap
yang baru pada bata itu.

Rumahmu sudah dihancurkan, dan
tiang utamanya tiada bertahan lagi!
Semua sekadar ilusi!
Dari tempat itu aku berlalu
selamat mencapai pembebasan."

source: Ajaran-Ajaran Klasik Sang Buddha -- bag. Kitab Ke Enam.

-----------------------------
* tulisan yang lengkap dapat diperoleh dari buku Ajaran-Ajaran Klasik Sang Buddha, penulis Li Yutang

Tidak ada komentar: